Senin, 29 Juni 2015

Budaya Konsumtif di Bulan Suci

Substansi ibadah puasa secara sederhana adalah ritual menahan hawa nafsu. Sayangnya, kultur masyarakat di Indonesia dalam praktiknya terkesan mengabaikan tujuan yang mulia itu. Akibatnya, orientasi ibadah saum pun tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’, melampiaskan hawa nafsu yang terpendam selama berpuasa. Idul Fitri yang sejatinya merupakan simbol kemenangan spiritual berganti menjadi titik kulminasi budaya konsmutif yang materialistis . Tulisan ini merupakan kritik terhadap kultur sosial, bukan dogma teologis, yang mengejala selama bulan suci Ramadan.
Balas Dendam
Setiap tahun umat Muslim di Indonesia diberi kesempatan untuk berpuasa. Selama itu juga mereka diberi media yang intensif untuk mendekatkan diri secara spiritual dengan Ilahi dan berbuat amal terhadap sesama. Namun kesempatan itu tidak selalu dimanfaatkan dengan baik.
Di berbagai wilayah pedesaan, nuansa Bulan Puasa yang khalis masih dapat dirasakan . Di tengah modernitas yang membelenggu, masyarakat pedesaan masih setia dengan orientasi puasa yang telah diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, masyarkat desa masih rutin berpuasa di luar Bulan Ramadan. Istilah mutih atau puasa Senin dan Kamis menjadi bukti bagaimana mereka menghayati kebutuhan spiritualnya. Inti dari kultur ini adalah kesederhanaan. Mutih adalah sebuah kebiasaan yang bersumber dari salah satu aspek agraris masyarakat desa, yaitu subsisten. Masyarakat desa telah terbiasa menjadi kelompok yang bersahaja. Sifat ini, misalnya, mereka tunjukkan secara gamblang dalam hal bercocok tanam. Orientasi bertani bagi masyarakat pedesaan tradisional adalah sekedar memenuhi kebutuhan pribadi atau komunal, tanpa tujuan untuk mencari keuntungan. Lebih dari itu, hasil panen pun mereka simpan dalam lumbung desa yang bersifat kolektif. Mekanisme yang diterapkan sesuai dengan prinsip subsiten itu, mengambil sesuai kebutuhan sehari-hari. Bila ada kelebihan baru mereka jual, itu pun bukan untuk kepentingan menumpuk kekayaan, tetapi sekedar tambahan untuk memenuhi kebutuhan harian yang mendesak.
Bertolak belakang masyarakat pedesaan, kaum urban memaknai Bulan Puasa sesuai dengan dominasi budaya populer yang identik dengan praktik konsumtif. Nilai spiritual saum yang seharusnya menonjol berganti menjadi simbolisme material. Hampir setiap sore, kaum urban memadati perempatan-perempatan jalan sekedar menunggu waktu berbukan puasa, ngabuburit. Mereka sekedar mengerubuti para pedagang makanan dan minuman yang kewalahan melayani permintaan yang membludak. Sebagian lagi, menghabiskan waktu untuk sekedar duduk dan berbicara dengan koleganya. Selain itu, acara buka bersama yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi, pun berubah menjadi praktik konsumtif yang berlebihan. Misalnya, sejumlah makanan dipesan dan seringkali berlebihan sehingga tidak habis dimamah. Fenomena ini bukan saja memakan biaya yang cukup besar, tetapi juga tidak meresapi makna mulia di balik ibadah itu. Ritual saum, bagi kaum urban, telah tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’ yang materialistis.
Titik Puncak
Hal yang cukup mencengangkan adalah persiapan untuk menyambut Idul Fitri sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, persiapan yang tampak menonjol justru bukan dari lingkup spiritual, tetapi lebih cenderung pada perspektif material. Lebaran, bagi kaum urban, lebih dimaknai sebagai tujuan instan dari Ibadah Puasa, bukan proses menahan keinginan dan berbuat kebaikan untuk menjadi manusia yang baru di Hari Kemenangan. Dalam konteks ini, Idul Fitri menjadi titik puncak budaya konsumtif masyarakat perkotaan.
Kecenderungan yang utama adalah kebiasaan membeli barang-barang konsumsi secara berlebihan. Peribahasa Besar Pasak daripada Tiang menggejala di sebagian masyarakat perkotaan. Pasar tradisional sampai pusat perbelanjaan menjadi objek penderita untuk melampiaskan nafsu, yang ironisnya terjadi di bulan Suci, dengan alasan menyemarakkan suasana Idul Fitri. Dari anak kecil sampai manusia lanjut usia, misalnya, menginginkan baju lebaran, suatu istilah yang bermakna pakaian serba baru yang dibeli untuk menyambut Hari Idul Fitri. Untuk memenuhi nafsu itu, tidak jarang kaum urban menguras tabungannya, atau yang lebih parah mengadai kekayaan fisiknya ke pengadaian yang dengan senang hati menerimanya. Berbagai perangkat elektronik tersier, seperti kulkas, telepon gengam, televisi, komputer, dan kendaraan bermotor bermerek dibeli tanpa tujuan yang jelas. Akibatnya, pasca lebaran, bahkan selama setahun, masyarakat perkotaan sibuk melunasi cicilan, kalau tidak menjual barang itu kembali dengan harga yang lebih murah.
Gejala lain yang biasannya mucul berelasi dengan tradisi mudik. Setiap kaum urban yang masih memiliki sanak keluarga di pedesaan memiliki kecenderungan untuk bersilahturahmi dengan segenap familinya. Namun demikian, misi baik di bali Idul Fitri ini, kini, lebih banyak dibumbui dengan aksi pamer. Tujuannya bukan saja meningkatkan status sosial individu dan keluarganya, tetapi terutama karena gengsi dengan saudara, tetangga, dan teman. Orientasi pembelian barang pun cenderung dipenuhi oleh kepentingan memamerkan kekayaan, dalam rangka menunjukkan kesuksesan, yang sering kali, semu demi tujuan yang imanjiner. Kaum urban merasa lebih terhormat, misalnya, bila pulang dengan kendaraan sendiri daripada menumpang kendaraan umum. Idul Fitri bukan lagi menjadi media untuk mempererat tali persaudaraan yang renggang, tetapi menjadi media yang paling potensial untuk melampiaskan nafsu material ,melalui simbol kebendaan, di kampung halaman.
Reduksi Makna
Setidaknnya dua fenomena di atas, dapat menjadi cermin bagaimana pemahaman dan orientasi Ibadah Puasa mulai bergeser ke arah yang salah. Kultur masyarakat, teruma akibat pengaruh budaya populer, mulai membelokkan makna di balik Ibadah Puasa dan Idul Fitri. Ironisnya, fenomena ini terjadi dalam masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir yang lebih terbuka dan rasional. Nyatanya, ritual suci ini hanya menjadi instrumen penunggang nafsu material yang menggelora.
Saum dan Lebaran ibarat sebuah proses. Masing-masing menjadi penanda sebuah perubahan. Tentunya pemaknaan yang utama bukanlah simbol-simbol material, tetapi lebih kepada kebutuhan spiritual seseorang dengan Tuhan dan sesamanya. Ketika seseorang berhasil melewati ujian dalam Ibadah Puasa, dan merayakan kemenangannya dalam Hari Idul Fitri, sesungguhnya lebaran merupakan titik awal manusia baru untuk lebih beriman kepada Ilahi dan mengasihi sesamanya.


0 komentar:

Posting Komentar