Osis Al-Kautsar

hanya membuatmu dewasa. Senyuman mampu meringankan luka. Sahabat akan selalu ada di saat kamu membutuhkannya.

Osis Al-Kautsar

Kenalilah ciri-ciri fisik kalian sebelum memutuskan untuk memilih pakaian, sesuaikanlah dengan bentuk tubuh.

Osis Al-Kautsar

Banyak wanita hanya mengikuti style rambut yang saat ini sedang trend, populer atau style aktor idola mereka, tapi tdk sesuai dgn wajah.

Osis Al-Kautsar

Buah durian yang mengandung vitamin B, C, E dan zat besi bisa menghilangkan kegelisahan dan mengatasi insomnia.

Osis Al-Kautsar

Jangan pernah sakiti sahabatmu, karena sahabat adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa Dia tak ingin kamu sendirian jalani hidup.

Senin, 29 Juni 2015

10 Hikmah Melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan

10 Hikmah Melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan — Ibadah puasa Ramadhan memiliki banyak keutamaan, dan diantara keutamaan tersebut sebagian besar manfaat/hikmahnya merupakan untuk diri kita sendiri








Hikmah berpuasa yang kita dapatkan ini tentunya berkaitan erat dengan amalan puasa yang kita jalani dan tentunya amalan pada puasa ramadhan bukanlah hanya menahan makan dan minum saja, melainkan juga menjalankan amalan ibadah Ramadhan lainnya, seperti bersedekah, Itikaf, Silaturahmi, Menghindari diri  dari yang haram, dan banyak lagi.
Maka dari itu, agar lebih termotivasi dalam menyempurnakan puasa tahun 2013 ini, kami sajikan untuk Anda 10 hikmah melaksanaka ibadah puasa Ramadhan yang dikutip dari berbagai sumber, selamat menyimak.
1.     Melatih Disiplin Waktu — Untuk menghasilkan puasa yang tetap fit dan kuat di siang hari, maka tubuh memerlukan istirahat yang cukup, hal ini membuat kita tidur lebih teratur demi lancarnya puasa. Bangun untuk makan sahur dipagi hari juga melatih kebiasaan untuk bangun lebih pagi untuk mendapatkan rejeki (makanan).
2.     Keseimbangan dalam Hidup — Pada hakikatnya kita adalah hamba Allah yang diperintahkan untuk beribadah. Namun sayang hanya karena hal duniawi seperti pekerjaan, hawa nafsu dan lain-lain kita sering melupakan kewajiban kita. Pada bulan puasa ini kita terlatih untuk kembali mengingat dan melaksanakan seluruh kewajiban tersebut dengan imbalan pahala yang dilipatgandakan.
3.     Mempererat Silaturahmi — Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
4.     Lebih Perduli Pada Sesama — Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
5.     Tahu Bahwa Ibadah Memiliki Tujuan — Tujuan puasa adalah melatih diri kita agar dapat menghindari dosa-dosa di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Kalau tujuan tercapai maka puasa berhasil. Tapi jika tujuannya gagal maka puasa tidak ada arti apa-apa. Jadi kita terbiasa berorientasi kepada tujuan dalam melakukan segala macam amal ibadah.
6.     Tiap Kegiatan Mulia Merupakan Ibadah — Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
7.     Berhati-hati Dalam Berbuat — Puasa Ramadhan akan sempurna dan tidak sia-sia apabila selain menahan lapar dan haus juga kita menghindari keharaman mata, telinga, perkataan dan perbuatan. atihan ini menimbulkan kemajuan positif bagi kita jika diluar bulan Ramadhan kita juga dapat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa seperti bergunjing, berkata kotor, berbohong, memandang yang dapat menimbulkan dosa, dan lain sebagainya.
8.     Berlatih Lebih Tabah — Dalam Puasa di bulan Ramadhan kita dibiasakan menahan yang tidak baik dilakukan. Misalnya marah-marah, berburuk sangka, dan dianjurkan sifat Sabar atas segala perbuatan orang lain kepada kita. Misalkan ada orang yang menggunjingkan kita, atau mungkin meruncing pada Fitnah, tetapi kita tetap Sabar karena kita dalam keadaan Puasa.
9.     Melatih Hidup Sederhana — Ketika waktu berbuka puasa tiba, saat minum dan makan sedikit saja kita telah merasakan nikmatnya makanan yang sedikit tersebut, pikiran kita untuk makan banyak dan bermacam-macam sebetulnya hanya hawa nafsu saja.
10.Melatih Untuk Bersyukur — Dengan memakan hanya ada saat berbuka, kita menjadi lebih mensykuri nikmat yang kita miliki saat tidak berpuasa. Sehingga kita dapat menjadi pribadi yang lebih mensyukuri nikmat Allah SWT.
Demikianlah hikmah dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita umat muslim.


Budaya Konsumtif di Bulan Suci

Substansi ibadah puasa secara sederhana adalah ritual menahan hawa nafsu. Sayangnya, kultur masyarakat di Indonesia dalam praktiknya terkesan mengabaikan tujuan yang mulia itu. Akibatnya, orientasi ibadah saum pun tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’, melampiaskan hawa nafsu yang terpendam selama berpuasa. Idul Fitri yang sejatinya merupakan simbol kemenangan spiritual berganti menjadi titik kulminasi budaya konsmutif yang materialistis . Tulisan ini merupakan kritik terhadap kultur sosial, bukan dogma teologis, yang mengejala selama bulan suci Ramadan.
Balas Dendam
Setiap tahun umat Muslim di Indonesia diberi kesempatan untuk berpuasa. Selama itu juga mereka diberi media yang intensif untuk mendekatkan diri secara spiritual dengan Ilahi dan berbuat amal terhadap sesama. Namun kesempatan itu tidak selalu dimanfaatkan dengan baik.
Di berbagai wilayah pedesaan, nuansa Bulan Puasa yang khalis masih dapat dirasakan . Di tengah modernitas yang membelenggu, masyarakat pedesaan masih setia dengan orientasi puasa yang telah diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, masyarkat desa masih rutin berpuasa di luar Bulan Ramadan. Istilah mutih atau puasa Senin dan Kamis menjadi bukti bagaimana mereka menghayati kebutuhan spiritualnya. Inti dari kultur ini adalah kesederhanaan. Mutih adalah sebuah kebiasaan yang bersumber dari salah satu aspek agraris masyarakat desa, yaitu subsisten. Masyarakat desa telah terbiasa menjadi kelompok yang bersahaja. Sifat ini, misalnya, mereka tunjukkan secara gamblang dalam hal bercocok tanam. Orientasi bertani bagi masyarakat pedesaan tradisional adalah sekedar memenuhi kebutuhan pribadi atau komunal, tanpa tujuan untuk mencari keuntungan. Lebih dari itu, hasil panen pun mereka simpan dalam lumbung desa yang bersifat kolektif. Mekanisme yang diterapkan sesuai dengan prinsip subsiten itu, mengambil sesuai kebutuhan sehari-hari. Bila ada kelebihan baru mereka jual, itu pun bukan untuk kepentingan menumpuk kekayaan, tetapi sekedar tambahan untuk memenuhi kebutuhan harian yang mendesak.
Bertolak belakang masyarakat pedesaan, kaum urban memaknai Bulan Puasa sesuai dengan dominasi budaya populer yang identik dengan praktik konsumtif. Nilai spiritual saum yang seharusnya menonjol berganti menjadi simbolisme material. Hampir setiap sore, kaum urban memadati perempatan-perempatan jalan sekedar menunggu waktu berbukan puasa, ngabuburit. Mereka sekedar mengerubuti para pedagang makanan dan minuman yang kewalahan melayani permintaan yang membludak. Sebagian lagi, menghabiskan waktu untuk sekedar duduk dan berbicara dengan koleganya. Selain itu, acara buka bersama yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi, pun berubah menjadi praktik konsumtif yang berlebihan. Misalnya, sejumlah makanan dipesan dan seringkali berlebihan sehingga tidak habis dimamah. Fenomena ini bukan saja memakan biaya yang cukup besar, tetapi juga tidak meresapi makna mulia di balik ibadah itu. Ritual saum, bagi kaum urban, telah tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’ yang materialistis.
Titik Puncak
Hal yang cukup mencengangkan adalah persiapan untuk menyambut Idul Fitri sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, persiapan yang tampak menonjol justru bukan dari lingkup spiritual, tetapi lebih cenderung pada perspektif material. Lebaran, bagi kaum urban, lebih dimaknai sebagai tujuan instan dari Ibadah Puasa, bukan proses menahan keinginan dan berbuat kebaikan untuk menjadi manusia yang baru di Hari Kemenangan. Dalam konteks ini, Idul Fitri menjadi titik puncak budaya konsumtif masyarakat perkotaan.
Kecenderungan yang utama adalah kebiasaan membeli barang-barang konsumsi secara berlebihan. Peribahasa Besar Pasak daripada Tiang menggejala di sebagian masyarakat perkotaan. Pasar tradisional sampai pusat perbelanjaan menjadi objek penderita untuk melampiaskan nafsu, yang ironisnya terjadi di bulan Suci, dengan alasan menyemarakkan suasana Idul Fitri. Dari anak kecil sampai manusia lanjut usia, misalnya, menginginkan baju lebaran, suatu istilah yang bermakna pakaian serba baru yang dibeli untuk menyambut Hari Idul Fitri. Untuk memenuhi nafsu itu, tidak jarang kaum urban menguras tabungannya, atau yang lebih parah mengadai kekayaan fisiknya ke pengadaian yang dengan senang hati menerimanya. Berbagai perangkat elektronik tersier, seperti kulkas, telepon gengam, televisi, komputer, dan kendaraan bermotor bermerek dibeli tanpa tujuan yang jelas. Akibatnya, pasca lebaran, bahkan selama setahun, masyarakat perkotaan sibuk melunasi cicilan, kalau tidak menjual barang itu kembali dengan harga yang lebih murah.
Gejala lain yang biasannya mucul berelasi dengan tradisi mudik. Setiap kaum urban yang masih memiliki sanak keluarga di pedesaan memiliki kecenderungan untuk bersilahturahmi dengan segenap familinya. Namun demikian, misi baik di bali Idul Fitri ini, kini, lebih banyak dibumbui dengan aksi pamer. Tujuannya bukan saja meningkatkan status sosial individu dan keluarganya, tetapi terutama karena gengsi dengan saudara, tetangga, dan teman. Orientasi pembelian barang pun cenderung dipenuhi oleh kepentingan memamerkan kekayaan, dalam rangka menunjukkan kesuksesan, yang sering kali, semu demi tujuan yang imanjiner. Kaum urban merasa lebih terhormat, misalnya, bila pulang dengan kendaraan sendiri daripada menumpang kendaraan umum. Idul Fitri bukan lagi menjadi media untuk mempererat tali persaudaraan yang renggang, tetapi menjadi media yang paling potensial untuk melampiaskan nafsu material ,melalui simbol kebendaan, di kampung halaman.
Reduksi Makna
Setidaknnya dua fenomena di atas, dapat menjadi cermin bagaimana pemahaman dan orientasi Ibadah Puasa mulai bergeser ke arah yang salah. Kultur masyarakat, teruma akibat pengaruh budaya populer, mulai membelokkan makna di balik Ibadah Puasa dan Idul Fitri. Ironisnya, fenomena ini terjadi dalam masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir yang lebih terbuka dan rasional. Nyatanya, ritual suci ini hanya menjadi instrumen penunggang nafsu material yang menggelora.
Saum dan Lebaran ibarat sebuah proses. Masing-masing menjadi penanda sebuah perubahan. Tentunya pemaknaan yang utama bukanlah simbol-simbol material, tetapi lebih kepada kebutuhan spiritual seseorang dengan Tuhan dan sesamanya. Ketika seseorang berhasil melewati ujian dalam Ibadah Puasa, dan merayakan kemenangannya dalam Hari Idul Fitri, sesungguhnya lebaran merupakan titik awal manusia baru untuk lebih beriman kepada Ilahi dan mengasihi sesamanya.


Minggu, 28 Juni 2015

Contoh Buku Tabungan Wajib Kelas


No
Nama File
Download
1
Buku Tabungan Kelas X (A)
Download
2
Buku Tabungan Kelas X (B)
Download
3
Buku Tabungan Kelas XI (A)
Download
4
Buku Tabungan Kelas XI (B)
Download
5
Buku Tabungan Kelas XII (A)
Download